Uji kendaraan (road test) menggunakan bahan bakar nyamplung untuk menempuh jarak
sekitar 750 hingga 1.000 kilometer, mulai dari Purworejo menuju Kebumen, Cilacap, Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Temanggung, Semarang, Gunung Kidul, Kulon
Progo, Bantul (Yogyakarta) dan kembali ke Purworejo.
Road test selama tiga hari mulai 5
hingga 7 Maret 2012, diberangkatkan oleh Sekda Purworejo Drs Tri
Handoyo MM, di depan pendopo kabupaten. Road test diikuti tujuh unit mobil
diesel. Bupati Purworejo Drs H Mahsun Zain M.Ag, memimpin rombongan,
dikuti Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Purworejo, Perum Perhutani KKPH
Kedu Selatan, CV Cahaya Khatulistiwa dan BPDAS SOP Yogyakarta.
di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.
Rombongan yang dipimpin Bupati Purworejo H Mahsun Zain itu diterima Bupati
Kebumen Buyar Winarso.
Tahun ini Kabupaten Purworejo
menargetkan setiap bulan akan memproduksi 6.000 liter biodiesel nyamplung.
Biodiesel yang dihasilkan dari tanaman nyamplung (Calophyllum inophyllum L) ini kelak dipasarkan kepada masyarakat
luas sebagai bahan bakar alternatif pengganti solar.
Kepala Bidang Kehutanan Dinas Pertanian
dan Kehutanan Kabupaten Purworejo (Ir. Argo Prasetyo) mengemukakan, target
produksi tersebut dapat tercapai dari hasil panen 100 hektar tanaman nyamplung
dari lahan milik Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kedu Selatan dan 50
hektar tanaman nyamplung dari hutan rakyat. Jumlah tanaman dari areal tersebut
berkisar 130.000 batang. ”Agar produksi benar-benar optimal dan target produksi
dapat tercapai, kami pun terus berupaya menambah jumlah tanaman,” kata Argo,
Senin (5/3/2012) di Purworejo.
Satu batang pohon nyamplung yang
berusia enam hingga tujuh tahun bisa menghasilkan 12 kg minyak nyamplung,
sedangkan yang berusia di atas 10 tahun bisa menghasilkan sedikitnya 100 kg per
batang.
Produksi biodiesel nyamplung akan
dimulai bulan ini di unit pengolah biodiesel nyamplung yang berada di Desa
Patutrejo, Kecamatan Grabag. Sebelumnya, unit pengolah biodiesel nyamplung yang
didirikan Kementerian Kehutanan pada tahun 2009 ini tidak beroperasi selama
tiga tahun. Belakangan, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu
Opak, Pemerintah Kabupaten Purworejo, Perhutani KPH Kedu Selatan, bersama
lembaga swadaya masyarakat (LSM) Relung dan CV Cahaya Khatulistiwa
merevitalisasi pabrik dan akhirnya memulai kembali produksi biodiesel nyamplung
pada tahun 2012 dengan produksi awal sekitar 1.000 liter.
Biodiesel nyamplung tersebut akan
dijual dengan harga Rp 8.500 hingga Rp 9.000 per liter. Selama tiga hingga enam
bulan pertama, seluruh minyak nyamplung yang dihasilkan akan dibeli oleh Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan. Setelah itu akan
didistribusikan ke pasaran umum.
Dari uji coba yang telah berlangsung
selama setengah hari, Argo mengatakan, bahan bakar nyamplung terbukti lebih
irit dibanding solar. Jika biasanya satu liter solar dapat dipakai untuk
menempuh 10 kilometer perjalanan, satu liter biodiesel nyamplung dapat menempuh
12 kilometer perjalanan. Selain itu, biodiesel nyamplung yang berwarna lebih
jernih, berdasarkan sejumlah referensi, dapat membuat proses pembakaran dalam
mesin berlangsung lebih baik.
Bupati Purworejo Drs H Mahsun
Zain MAg menuturkan, biofuel merupakan alternatif yang bisa dipakai
masyarakat atau pemerintah untuk mengantisipasi melonjaknya harga bahan bakar minyak.
Potensi bahan baku yang melimpah di Kabupaten Purworejo belum dimanfaatkan
seluruhnya.
Ketua Unit Produksi DME Patutrejo Barino mengatakan, instalasi di desanya
sudah mulai beroperasi setelah beberapa kerusakan dan alat yang tidak efisien
diperbaiki. "Kami difasilitasi pemerintah dan bekerjasama dengan CV Cahaya
Khatulistiwa di Yogyakarta. Perusahaan itu membantu kami mengoperasikan mesin
agar produksinya optimal. Pasca perbaikan,
instalasi tersebut mampu menghasilkan kurang lebih 200 liter biofuel setiap
hari. Mesin bisa menyuling kurang lebih 800 kilogram biji nyamplung kering
setiap hari.
Harga jual minyak tersebut
diperkirakan antara Rp 8.500 - Rp 9.000 perliter atau sama dengan harga solar nonsubsidi
produksi Pertamina. Harganya juga sudah bisa terjangkau, karena produksi
efisien. Bahkan, kami sudah mendapat kontrak untuk memasok biodiesel untuk
kebutuhan Puslitbang Kehutanan Kementerian Kehutanan selama enam bulan.
Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan
(Distanhut) Purworejo Ir Dri Sumarno menambahkan, berdasar harga, biofuel layak
untuk bersaing dengan solar nonsubsidi yang dijual untuk pangsa pasar industri,
tetapi minyak tersebut belum bisa dinikmati masyarakat untuk kendaraan, karena masih
lebih mahal daripada solar bersubsidi, kecuali pemerintah mencabut subdisinya.
"Pasar masih terus dijajaki, yang jelas, produk buatan Patutrejo sudah
layak bersaing dengan solar yang sudah ada.
Gubernur Jateng Bibit Waluyo memberi
apresiasi terhadap kreativitas Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Wana
Lestari, Desa Patutrejo, Kecamatan Grabag, Purworejo. Mereka berhasil
memproduksi dan mengembangkan bahan bakar biodiesel berbahan baku biji
nyamplung.
Bibit mengatakan itu ketika menerima
rombongan road test biodiesel nyamplung di halaman kantor gubernur, Semarang,
Selasa (6/3) pagi. Sekitar 35 peserta uji coba yang dipimpin Bupati Purworejo
Mahsun Zain menggunakan delapan mobil, berkunjung ke kantor gubernur untuk
memperkenalkan bahan bakar alternatif tersebut.
Dalam kesempatan itu, Bibit
didampingi Kepala Dinas Kehutanan Jateng Sri Puryono serta sejumlah pejabat
terkait. Gubernur awalnya menanyakan hasil uji coba dari
Purworejo-Cilacap-Semarang. Setelah mendapat penjelasan bahwa uji coba
menunjukkan hasil yang hemat dan pembakaran mesin mobil bagus, dia tertarik.
Gubernur menyempatkan diri beberapa kali mengemudikan mobil berbahan bakar
biodisel nyamplung berkeliling halaman kantor dan mendukung pengolahan
nyamplung menjadi bahan bakar.
Gubernur berharap daerah-daerah yang
punya potensi memberdayakan pohon nyamplung. Tak hanya di Purworejo, tetapi
juga wilayah lain, misalnya : Karimunjawa. Melalui pemberdayaan masyarakat
pesisir lewat penanaman pohon nyamplung, diharapkan bisa menumbuhkan ekonomi
kerakyatan.
’’Ide untuk menginovasi nyamplung menjadi bahan bakar sangat bermanfaat. Ini bisa membantu perekonomian rakyat wilayah pesisir atau hutan yang tidak produktif,’’ kata Bibit.
’’Ide untuk menginovasi nyamplung menjadi bahan bakar sangat bermanfaat. Ini bisa membantu perekonomian rakyat wilayah pesisir atau hutan yang tidak produktif,’’ kata Bibit.
Bahan baku alternatif pengganti solar
ini, lanjut Bibit, mudah dikembangkan. Satu kilogram nyamplung basah biasanya
dijual sekitar Rp 750/kg.
Referensi dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar